Minggu, 10 Juni 2012

PILGUB DULU DAN KINI BEDA

Pilgub dulu dan kini memang beda!

    
oleh Jeffry Pekeimbii

(Tanggapan atas artikel “Papua Lawyers Club Unfair” yang dimuat Harian Bintang Papua edisi Kamis 31 Mei 2012)

SEMANGAT reformasi dan demokratisasi mendorong MPR RI semasa diketuai Prof DR Amien Rais melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Ada dua hal mendasar yang terlahir dari amandemen atas UUD 1945 ini. Pertama, sejak amandemen UUD itu diberlakukan, seseorang di Republik Indonesia hanya boleh menjabat Kepala Negara (presiden/wakil presiden) dan Kepala Daerah (gubernur/bupati/walikota) dua periode saja.

Hal mendasar kedua adalah pemilihan Presiden/Wakil Presiden maupun Kepala Daerah dan wakilnya dilakukan secara langsung oleh rakyat. Bukan lagi oleh lembaga perwakilan rakyat seperti MPR (dalam memilih Presiden/Wakil Presiden), maupun DPRD (gubernur/bupati/walikota dan wakilnya). Maka, sejak hasil amandemen UUD 45 diberlakukan, rezim pelaksanaan Pemilu berubah total. Ia mengalami perubahan revolusioner!

Maka pasca amandemen UUD 1945, penyusunan semua regulasi maupun pelaksanaannya, termasuk yang berkaitan dengan dengan Pemilu (pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan kepala daerah), mengacu pada dua perubahan mendasar tersebut. Seiring perjalanan waktu, lantas muncul sejumlah hal menarik, untuk tidak mengatakan kasus/kekisruhan/ketidakjelasan/kekaburan hukum, dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), pascaamandemen UUD 1945. Di Provinsi Papua dan Nangroe Aceh Darusalam (NAD) misalnya. Dua provinsi yang mendapat keistimewaan dengan diberlakukannya Otonomi Khusus di kedua provinsi tersebut.

Pengalaman Pilgub Papua I di Era Otsus

Semangat reformasi dan demokratisasi pulalah yang memaksa Pemerintah RI memberikan status Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Tak pelak, pembuatan semua regulasi maupun pelaksanaan pemilihan anggota legislatif, gubernur, bupati, dan walikota di seantero Papua lantas mengacu pada status Otonomi Khusus maupun dua perubahan mendasar hasil amandemen UUD 1945.

Ketika melaksanakan proses pemilihan gubernur pertama pada tahun 2005/2006 atau pemilihan gubernur pertama setelah berlakunya UU Otsus, pemerintah pun sudah melahirkan dan memberlakukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda). Maka pada pelaksanaan Pilgub Papua pertama, terdapat dua UU yang menjadi payung hukumnya yaitu UU Otsus Papua dan UU Pemda.

Tak menjadi soal kalaulah dua UU tersebut selaras. Nyatanya, ada yang tidak selaras, bahkan bertentangan dalam dua UU tersebut, yaitu mengenai lembaga mana yang berwenang menyelengarakan pelaksanaan Pilgub di Papua.

Kalau pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Otsus Papua menyebutkan “DPRP mempunyai tugas dan wewenang memilih Gubernur dan Wakil Gubernur”, maka Pasal 57 ayat (1) UU Pemda menyatakan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilaksanakan oleh KPUD. Akibatnya terjadi “benturan hukum” mengenai siapa yang berwenang menyelenggarakan Pilgub di Papua antara dua aturan yang posisinya setara: sama-sama Undang-Undang.

Dalam kondisi “benturan hukum” antara dua undang-undang ini, pemerintah mencari jalan tengah untuk menjembatani perbedaan antara dua UU tersebut dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. PP tersebut jelas dilahirkan dengan tujuan menjembatani “benturan hukum” mengenai siapa sesungguhnya penyelenggara Pilgub: apakah DPRP (UU OtsusPapua) ataukah KPUD (UU Pemda).

Pasal 139 PP Nomor 6/2005 menerangkan, Pilgub di Papua dilakukan secara langsung oleh rakyat dengan pembagian kewenangan pencalonan diusulkan melalui DPRP (Pasal 139 ayat 1), sedangkan penyelenggara pemilihan dilakukan oleh KPUD (Pasal 139 ayat 2 huruf k). Maka Pilgub Papua pertama di era UU Otsus Papua diselenggarakan BERSAMA oleh DPRP dan KPUD Provinsi Papua.

Perubahan Regulasi Menuju Pilgub Papua II di Era Otsus

Dalam perkembangannya, setelah Pilgub pertama Papua di Era Otsus terlaksana, terjadi perubahan atas sejumlah regulasi yang bertalitemali erat dengan pelaksanaan Pilgub, termasuk di Papua yang berstatus Otonomi Khusus. Ada tiga perubahan regulasi yang berakibat Pilgub kedua Papua di Era Otsus (periode 2012-2017?) dan selanjutnya berbeda dengan Pilgub pertama Papua di Era Otsus (periode 2006-2011).

Pertama, perubahan UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua melalui Peraturan Pemerintan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2008 yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 35 Tahun 2008.

Di dalam UU Nomor 35/2008, tugas dan wewenang DPRP yang sebelumnya diatur pada Pasal 7 ayat 1 huruf a UU Nomor 21/2001 dihapus dan tidak berlaku lagi. Perubahan ini berakibat Pasal 139 PP Nomor 6/2005 yang memberi kewenangan kepada DPRP dalam penyelenggaraan Pilgub Papua dengan sendirinya tidak lagi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan dapat dikesampingkan karena kedudukannya lebih rendah dari Perppu Nomor 1/2008 dan UU Nomor 35/2008 (asas lex superior derogat legi inferior atau aturan hukum yang lebih tinggi tingkatannya mengesampingkan aturan yang lebih rendah tingkatannya).

Kedua, pada masa menuju Pilgub Papua kedua di Era UU Otsus, pemerintah melahirkan UU Nomor 22 Tahun 2007 yang kemudian diubah menjadi UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Pasal 1 angka 5 UU Pemilu berbunyi: “Penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan Pemilu yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaran Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat, serta untuk memilih Gubernur, Bupati, dan Walikota secara demokratis.” Lalu, Pasal 9 ayat 3 dan ayat 4 UU Pemilu menjelaskan tentang tugas dan wewenang KPU Provinsi dalam menyelenggarakan Pilgub. Pasal tersebut memastikan KPUD Provinsi Papua menjadi penyelenggara Pilgub Papua. Dengan berlakunya UU Pemilu, maka siapa penyelengara Pemilu, termasuk Pilgub menjadi jelas, yaitu KPUD.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bila demikian, lalu masih relevankah Pasal 139 PP Nomor 6 Tahun 2005 menjadi payung hukum pelaksanaan Pilgub Papua mengingat pasal tersebut belum atau tidak dicabut? Pasal tersebut memang tidak dicabut namun karena kedudukannya lebih rendah dari UU Nomor 35 Tahun 2008 dan UU Nomor 15 Tahun 2011, maka pasal tersebut mestilah dikesampingkan sesuai asas lex superior derogat legi inferior dan lex posterior derogat legi priori (undang-undang yang baru mengesampingkan pemberlakuan undang-undang yang lama apabila mengaturobjek yang sama).

Ketiga: Kewenangan KPUD sebagai satu-satunya penyelenggara Pilgub di Papua pun kian tidak terbantahkan kalau menyimak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 81/PUU-VIII/2010 tentang Uji Materiil atas Perppu Nomor 1/2008 juncto UU Nomor 35/2008 yang menghapus tugas dan kewenangan DPRP.

Sekadar menyegarkan kembali ingatan kita, putusan MK ini ada sebagai jawaban atas keinginan DPR Papua (?) dan DPRD Provinsi Papua Barat untuk “menghidupkan kembali” Pasal 7 ayat 1 huruf a UU Nomor 21 Tahun 2001 yang dihapus dalam UU Nomor 35 Tahun 2008. Dalam amar putusannya, MK menyatakan Pasal I angka 2 UU 35/2008 yang menghapus Pasal 7 ayat (1) huruf a UU Nomor 21 Tahun 2001, tidak bertentangan dengan UUD 1945 (Pasal 18B ayat 1).

Dalam putusannya ini, MK juga menyatakan kekhususan Provinsi Papua berkaitan dengan Pilgub yang berbeda dengan provinsi lainnya adalah hanya mengenai calon gubernur dan calon wakil gubernur yang harus orang asli Papua dan telah mendapat pertimbangan dan persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP). Sedangkan persyaratan dan mekanisme lainnya sama dengan yang berlaku di daerah lainnya di Indonesia.

Sayangnya dalam menyusun Perdasus Nomor 6 Tahun 2011, Pemerintah Provinsi Papua di bawah pimpinan Penjabat Gubernur Dr Drs H Syamsul Arief Rivai MS “kukuh” memberikan kewenangan kepada DPRP juga sebagai penyelenggara dengan cara menjadikan Pasal 139 PP Nomor 6 Tahun 2005 sebagai dasar utama penyusunan Perdasus.

Maka Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dalam suratnya kepada Pejabat Gubernur Papua Nomor 188.34/271/SJ tanggal 31 Januari 2012 perihal Klarifikasi Perdasus Nomor 6/2011 menyatakan bahwa berdasarkan kajian Tim, Perdasus Nomor 6/2011 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sehingga meminta agar Perdasus tersebut dilakukan penyesuaian.

Anehnya, meski memiliki wewenang pengawasan terhadap penyusunan peraturan daerah di seluruh Indonesia, termasuk pengawasan yang sifatnya represif—sebagaimana disebutkan Pasal 68 ayat (2) UU Otsus Papua, namun Mendagri dalam surat berikutnya (surat kedua) kepada Pejabat Gubernur Papua Nomor 188.3/1177/SJ tanggal 3 April 2012 perihal Tindaklanjut Hasil Klarifikasi Perdasus Nomor 6 Tahun 2011, “memberi angin” kepada DPRP untuk ikut menyelenggarakan Pilgub dengan berpedoman pada Pasal 139 PP Nomor 6/2005. Meskipun surat tersebut juga “memperingatkan” tentang resiko hukum yang bakal timbul bila DPRP bersikukuh ikut terlibat sebagai penyelenggara (bersama KPUD).

Mungkin karena menilai dua surat yang sudah dilayangkannya belum jua dilaksanakan, Mendagri kembali melayangkan suratnya tertanggal 19 April 2012 kepada Pejabat Gubernur Papua (surat ketiga). Surat ini lagi-lagi mengingatkan agar klarifikasi Perdasus Nomor 6 Tahun 2011 segera dilakukan. Malahan dengan gamblang meminta agar klarifikasi yang dilakukan mestilah memperhatikan juga UU Nomor 35/2008.

Sudahkah perintah Mendagri, yang secara tertulis diungkapkan dalam tiga suratnya kepada Pejabat Gubernur Papua, agar Perdasus Nomor 6/2011 dilakukan penyesuaian agar tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi? Kalau sudah, bagaimana wujud klarifikasinya? Kalau belum, mengapa belum (tidak) juga dilaksanakan? Dan, bagaimana akibatnya dengan pelaksanaan Pilgub bila klarifikasi belum kunjung dilakukan, termasuk soal penganggaran misalnya? Dimana sesungguhnya ranah yang menjadi wewenang DPRP, MRP, dan KPUD menurut aturan perundang-undangan yang berlaku? Pertanyaan-pertanyaan pokok inilah yang coba dijawab dalam dialog Papua Lawyers Club (PLC) di Hotel Swiss Bell Jayapura, 5 Mei 2012 lalu, yang disiarkan RRI Jayapura, TVRI Papua, dan Papua Televisi. Kemudian, sesi kedua pada 19 Mei 2012 yang digelar di Hotel Aston Jayapura dan disiarkan TOP TV.

Substansi Diskusi dan “Remeh Temeh”

Tidaklah disangkal bahwa PLC terlahir dan mencoba tampil mencontoh acara serupa yang menjadi ikon salah satu acara talk-show di televisi nasional yaitu Indonesia Lawyers Club (ILC) yang secara reguler disiarkan TVOne setiap Selasa malam.

Lewat dua penampilannya, diskusi PLC coba menjawab pertanyaan-pertanyaan pokok di atas. Dan untuk itu, semua pemangku kepentingan yang bersentuhan langsung dengan penyusunan Perdasus Nomor 6/2011 dan pelaksanaan Pilgub, maupun pihak manapun yang menaruh perhatian atau peduli dengan ketidakjelasan nasib Pilgub Papua saat ini diundang dan diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menjelaskan, menyampaikan kritik, saran, dan uneg-uneg lainnya, hanya dengan satu maksud: agar Pilgub bisa segera terlaksana. Bukan asal terlaksana, melainkan terlaksana sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku. Sayang pada dialog pertama misalnya, dua pihak penting yaitu Pansus Pilgub DPRP dan KPUD berhalangan hadir. Yang hadir dari kalangan DPRP hanya Ketua Fraksi Partai Golkar DPRP, Yan Ayomi, dan anggota Komisi A DPRP, Amal Saleh. Sementara kalangan KPUD Papua, tak seorang pun hadir meski diundang dan sangat diharapkan hadir. Begitu pula kalangan akademisi, khususnya dari Fakultas Hukum Uncen yang juga diundang, namun juga berhalangan hadir.

Substansi yang dibicarakan dalam dialog (diskusi) tersebut yang seyogyanya menjadi fokus dan perhatian kita, ketimbang mengurusi hal remeh-temeh seperti mempersoalkan atribut dan pribadi seseorang yang menjadi peserta atau penyelenggara acara tersebut.

Para penggagas dan penyelenggara PLC niscaya ingin acara tersebut menjadi acara yang bernilai, bermutu, dan bisa memberikan kontribusi untuk mencerdaskan dan mencerahkan pemirsa dan pendengarnya. Tujuan tersebut jelas tidak akan terwujud bila sopan santun, etika, asas fairness, kebenaran, dikesampingkan. Direktur PLC, Anton Raharusun, memastikan PLC tidak bakalan menjadi corong pihak-pihak tertentu. Untuk tujuan tersebut, semua saran dan kritik dengan maksud memperbaiki acara tersebut, tentu diterima dengan ramah, dengan hati dan tangan terbuka. ***

(Penulis adalah Mahasiswa UNCEN Jayapura, pada Program Study Ilmu Hubungan Internasional) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar